Tiga puluh dua tahun berkuasa, tentu kiprahnya sebagai Presiden kedua Republik Indonesia masih melekat di ingatan setiap orang yang pernah merasakan kepemimpinannya.
Begitu juga dengan anak-anak muda yang tumbuh pada pengujung lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan.
Mereka, yang lebih banyak mengetahui kiprah Presiden Soeharto itu dari bangku sekolah, buku, artikel berita, dan cerita dari orang-orang terdekat, ternyata juga memiliki kesan tersendiri.
"Tahun 1998, umur saya baru empat tahun. Terang saja saya enggak tahu apa-apa soal reformasi, apalagi soal Bapak (Soeharto) itu," ujar Nisrina Nadhifah Rahman, seorang pegiat lembaga swadaya masyarakat, ketika ditemui Kompas.com di Jakarta Pusat, Rabu (27/1/2016).
Ia menceritakan pengalaman yang ia rasakan saat reformasi bergejolak pada tahun 1998. Saat itu, ia sedang makan bersama ibunya di salah satu restoran di Kota Bogor.
Tidak beberapa lama, lampu di restoran tersebut mati dan orang-orang berteriak menyuruh mereka keluar dari restoran.
"Itu pengalaman yang saya ingat pada masa-masa reformasi dan kejatuhan Soeharto. Meski di Bogor, ternyata jarak juga tidak berpengaruh sama sekali. Saya ikut merasakan hawa mencekam reformasi," ungkap Nisrina.
Sebagai anak muda yang tidak begitu merasakan masa Orde Baru, Nisrina hanya mengenal Presiden Soeharto lewat buku-buku pelajaran sejarah di sekolah dan penjelasan dari gurunya. Ia mengetahui bahwa Soeharto adalah mantan Presiden RI yang paling lama menjabat.
Ia heran kenapa seorang presiden bisa menjabat selama 32 tahun. Rasa ingin tahunya itu membuat Nisrina bertanya kepada banyak orang, termasuk ibunya.
"Beliau jelasin soal Soeharto yang rezimnya disebut rezim Orde Baru. Soeharto dijulukin sebagai 'Bapak Pembangunan' karena dulu dia getol banget membangun ekonomi kerakyatan lewat pertanian dan segala macam. Tetapi, di samping itu, selama 32 tahun berkuasa, ada banyak juga kebijakan dan peristiwa kemanusiaan yang terjadi," tuturnya.
Setelah beranjak dewasa, Nisrina mulai banyak menemukan hal-hal menarik seputar Soeharto dari berbagai sumber. Pemahamannya terhadap langkah politik dan gaya kepemimpinan Soeharto semakin bertambah.
Saat duduk di bangku SMA, ia kemudian tertarik untuk mendalami isu-isu hak asasi manusia dan jender. Menurut dia, banyak kebijakan Presiden Soeharto yang tidak ramah dengan kemanusiaan. Beberapa peristiwa pelanggaran HAM juga banyak terjadi pada masa Orde Baru.
Sejak saat itu, dia melihat Soeharto sebagai figur pemimpin yang represif dan diktator. Tidak ada kebebasan sipil kala itu karena semua dikontrol oleh satu orang.
"Kebetulan pas SMP dan SMA, saya jadi reporter relawan sebuah media non-profit yang fokus pada isu jender dan HAM. Makanya, pengetahuan dan pemahaman saya soal HAM yang ada kaitannya dengan sejarah Soeharto juga jadi bertambah," ujarnya.
Bagi Nisrina, sosok Soeharto tetap menjadi figur yang penuh misteri. Setelah wafat sewindu yang lalu, Soeharto banyak meninggalkan sejarah dan hal-hal yang tak terungkap.
"Ada banyak hal, sejarah, dan kisah yang beliau tinggalkan, termasuk soal utang keadilan terhadap korban pelanggaran HAM masa lalu yang hingga kini belum dijawab negara," katanya.
Delapan tahun setelah wafat, Soeharto tetap meninggalkan berbagai macam kisah yang menunggu untuk diungkap.
Soeharto dan Perjalanan Rahasianya
Tak hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang gemar melakukan "blusukan". Presiden kedua Republik Indonesia Soeharto pun memiliki hobi yang sama, hanya saja cara keduanya melakukan berbeda.
Presiden Soeharto pada saat mengumumkan pengunduran dirinya di Istana Merdeka, Jakarta, pada tanggal 21 Mei 1998. (Kompas.com) |
Pada masa Seoharto memimpin, tak ada istilah khusus untuk menyebut inspeksi mendadak yang kini dipopulerkan dengan nama "blusukan" oleh Jokowi. Tak ada pula penyambutan keramaian karena semua dilakukan serba rahasia.
Sebuah pengalaman unik dirasakan Try Sutrisno pada tahun 1974 ketika dia masih menjadi ajudan Soeharto soal hobi mantan kepala negara satu itu.
Suatu ketika, Soeharto tiba-tiba memerintahkan Try untuk segera menyiapkan mobil dan pengamanan seperlunya.
"Siapkan kendaraan, sangat terbatas. Alat radio dan pengamanan seperlunya saja dan tidak perlu memberitahu siapa pun," perintah Soeharto seperti yang dikenang Try Sutrisno dalam buku "Soeharto: The Untold Story".
Perjalanan rahasia itu berlangsung selama dua pekan. Hanya Try, Dan Paspampres Kolonel Munawar, Komandan Pengawal, satu ajudan, Dokter Mardjono dan mekanik Pak Biyanto yang mengurus kendaraan yang turut serta dalam perjalanan itu.
Di luar rombongan ini, hanya Ketua G-I/S Intel Hankam Mayjen TNI Benny Moerdani yang mengetahuinya. Panglima ABRI ketika itu bahkan tidak tahu bahwa presiden sedang berkeliling dengan pengamanan seadanya ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Pada saat itu, Indonesia memasuki tahap Pelita II. Sehingga, Soeharto merasa harus turun langsung memantau program-program pemerintah dilaksanakan.
Dengan melakukan perjalanan rahasia seperti ini, Soeharto bisa melihat kondisi desa apa adanya dan mendapat masukan langsung dari masyarakat.
"Kami tidak pernah makan di restoran, menginap di rumah kepala desa atau rumah-rumah penduduk. Untuk urusan logistik, selain membawa beras dari Jakarta, Ibu Tien membekali sambal teri dan kering tempe. Benar-benar prihatin saat itu," tutur Try.
Meski pejalanan itu berusaha ditutup rapat, kedatangan presiden ke suatu desa akhirnya bocor juga hingga sampai ke telinga pejabat setempat.
Para pejabat daerah pun geger hingga memarahi Try Sutrsino karena merasa tidak diberi kesempatan untuk menyambut presiden. Try tidak bisa berbuat banyak karena perjalanan ini adalah kemauan Soeharto.
Try yang kemudian hari menjadi Wakil Presiden ini pun melihat Soeharto terlihat begitu menikmati perjalanan keluar masuk desa. Semua hal yang ditemui di lapangan dicatat Soeharto untuk jadi bahan dalam rapat kabinet.
Saking menikmatinya perjalanan itu, Soeharto tidak protes atau pun marah saat ajudannya salah mengambil jalan hingga akhirnya tersasar. Padahal, Soeharto mengetahui betul seluk beluk wilayah itu. Dalam ingatan Try, Soeharto ketika itu hanya tersenyum.
Perjalanan incognito itu pun berakhir di Istana Cipanas dengan kondisi semua lelah. Try mengungkapkan, Soeharto mempersilakan para pembantunya untuk makan terlebih dulu daripada dirinya.
Cerita Dicky Sondani, Kapolsek yang Mengungkap Meninggalnya Pak Harto
Tepat sewindu, nama Komisaris (Pol) Dicky Sondani tercetak di media massa Indonesia, bahkan luar negeri. Siapa dia? Dicky adalah orang pertama yang memberikan informasi kepada publik bahwa Presiden kedua RI, Soeharto, telah meninggal dunia.
Sabtu, 26 Januari 2008 malam, Dicky pulang ke kantornya di Polsek Kebayoran Baru seusai seharian berada di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta, yang hanya berjarak satu kilometer.
Sebagai Kepala Kepolisian Sektor Kebayoran Baru ketika itu, dia merupakan penanggung jawab keamanan di RSPP, tempat Pak Harto dirawat.
Saat itu, Dicky sedikit lelah. Sekitar dua pekan lamanya dia tidak pulang ke rumah lantaran harus siaga di RSPP dan tetap mengawasi wilayah hukumnya.
Namun, malam minggu itu, Dicky bisa sedikit bernapas lega.
"Sebab, saya habis ketemu dokternya Pak Harto. Dia bilang kondisi Pak Harto meningkat dan semakin baik. Bahkan dia memperkirakan hari Selasa itu sudah bisa duduk bagus," tutur Dicky saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (26/1/2016) malam.
"Dokternya bercanda sama saya, besoknya kan hari Minggu, kalau begitu kita bisa istirahat, bisa kumpul-kumpul bersama keluarga, ya bisa memaksimalkan hari Minggu-lah," lanjut dia.
Meski begitu, Dicky memutuskan untuk tetap tidak pulang ke rumah dan memilih untuk tidur di kantornya.
Minggu, 27 Januari 2008 pagi, istri Dicky datang ke Mapolsek. Dia hendak mengajak Dicky untuk pergi ke pesta pernikahan saudaranya.
Merasa pengamanan di RSPP sudah mulai longgar, Dicky mengiyakan ajakan istrinya. Ia mengganti baju polisi dengan kemeja batik berlengan panjang.
Beberapa saat kemudian, salah seorang dokter kepresidenan menghubunginya via ponsel. Dokter itu menginformasikan bahwa kondisi Pak Harto kembali memburuk.
"Wah, baju batik saya buka lagi. Saya minta maaf ke istri kalau saya enggak bisa ikut ke kondangan. Untungnya, istri saya memahami dan tidak menuntut banyak. Saya langsung meluncur lagi ke RSPP," ujar dia.
Sekitar pukul 10.00 WIB, Dicky tiba di RSPP. Dokter kembali mengatakan bahwa kondisi Pak Harto semakin menurun.
Bahkan, dokter menyebut wafatnya Pak Harto tinggal menunggu waktu.
"Saya ingat sekali saya lima kali bolak-balik, keluar masuk rumah sakit. Nah, pas masuk ke rumah sakit yang terakhir, dokter menyatakan bahwa Pak Harto sudah meninggal dunia," ujar dia.
Tak bisa bohong
Dicky kemudian keluar dari rumah sakit lagi untuk mempersiapkan personel pengamanan tambahan. Dia juga berkoordinasi dengan TNI yang turut mengirimkan pasukan.
Saat itu, dia adalah perwira polisi tertinggi yang ada di RSPP. Rupanya, gerak-gerik Dicky terpantau puluhan awak media yang menunggu di rumah sakit.
Dicky merasa para wartawan curiga dirinya sibuk berkoordinasi melalui handy talkie untuk menambah personel.
"Mungkin ada sekitar 100 wartawan tiba-tiba mengerubuti saya, bertanya, ada apa Pak? Kok ada personel tambahan segala. Ya, saya jujur saja. Saya bilang, Pak Harto meninggal dunia pukul 13.10 WIB. Saya tidak bisa membohongi publik saat itu. Karena memang saya tahu dari dokternya langsung," ujar Dicky.
Dicky merasa semua terjadi demikian cepat. Kabar duka mantan presiden yang telah berkuasa selama 32 tahun itu pun bukan datang dari keluarga atau bahkan petinggi negeri, melainkan dari mulut seorang Kepala Polsek Kebayoran Baru berpangkat komisaris polisi.
Aksinya itu pun tidak lantas membuat dirinya kena teguran dari keluarga atau atasannya. Tidak juga ada apresiasi. Karier dan kehidupan selanjutnya berjalan apa adanya.
Jalan hidup polisi
Hari ini, sewindu telah berlalu. Dicky sudah berpindah tugas. Ia menjabat sebagai Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Banten. Pangkatnya naik setingkat dari komisaris polisi menjadi ajun komisaris besar polisi.
Detik-detik ketika ia menjadi tokoh sentral momen bersejarah itu tidak bisa hilang dari ingatannya.
Dicky merefleksikan pengalamannya tersebut sebagai bagian dari jalan hidup yang memang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa.
"Jujur, momen itu sungguh di luar naluri saya sebagai perwira Polri. Harusnya yang menyampaikan itu ya tingkat yang lebih tinggi. Minimal jenderallah. Kalau di sana ada Dandim, Pangdam, atau Panglima TNI, harusnya mereka yang mengumumkan. Tetapi, situasi saat itu ya mengharuskan saya begitu," ujar dia.
"Setelah mengumumkan pertama kali Pak Harto ke wartawan, saya sempat enggak percaya. Apa enggak salah ini saya ngomong begini? Tetapi, sekarang saya menganggap bahwa sepertinya saat itu memang sudah diatur Tuhan Yang Maha Esa," lanjut Dicky.
"Momen itu saya anggap menjadi bagian perjalanan hidup saya sebagai perwira polisi," pungkas dia.
Astana Giribangun, Peristirahatan Terakhir Soeharto
"Bapak, selamat jalan, Bapak. Doa kami selalu menyertai Bapak."
Sambil terus terisak, putri sulung mantan Presiden Soeharto, Siti Hardiyanti, mengungkapkan kalimat itu di depan makam ayahnya di Astana Giribangun, Karang Anyar, Jawa Tengah, 28 Januari 2008 silam.
Setelah berpulang sehari sebelumnya, tepatnya pada hari Minggu, jenazah Presiden ke-2 RI itu dimakamkan sekitar pukul 12.10 WIB.
Makam Soeharto terletak di sebelah kanan makam Tien Soeharto, istrinya yang lebih dulu wafat pada tanggal 28 April 1996.
Astana Giribangun merupakan kompleks makam keluarga Soeharto yang terletak di lereng tenggara Gunung Lawu, di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, sekitar 35 kilometer dari Kota Surakarta.
Keturunan Mangkunegara
Makam Soeharto dan istrinya di Astana Giribangun ini berada tepat di bawah Astana Mangadeg, makam Kanjeng Pangeran Adipati Arya Sri Mangkunegara I atau juga dikenal dengan nama Pangeran Sambernyawa atau Raden Mas Said serta makam Mangkunegara II dan III.
Tien merupakan keturunan Mangkunegara III.
Selain itu, terdapat pula kompleks pemakaman Astana Girilayu yang merupakan tempat peristirahatan terakhir Mangkunegara IV sampai VIII.
Astana Giribangun dibangun pada tahun 1974 oleh Yayasan Mangadeg Surakarta dan diresmikan pada tahun 1976 dengan ditandai pemindahan sisa jenazah ayah Tien Soeharto, Soemaharjomo, dan kakak tertuanya, Siti Hartini Oudang.
Bangunan makam ini mengadopsi bentuk joglo dengan gaya Surakarta beratap sirap. Ada tiga cungkup atau bangunan makam di kompleks ini, yaitu cungkup Argosari yang terletak di tengah dan paling tinggi posisinya, serta cungkup Argokembang dan Argotuwuh.
Makam Soeharto, Tien, serta ayah dan kakak tertua Tien terletak di cungkup Argosari.
Astana Giribangun (Kompas.com) |
Destinasi ziarah
Kompleks makam keluarga Soeharto ini kerap menjadi destinasi wisata dan ziarah, baik oleh para pengunjung domestik maupun mancanegara.
Pengunjung dipersilakan memberi uang seikhlasnya untuk masuk ke kawasan makam ini, selain biaya parkir kendaraan.
Para pengunjung biasanya berziarah atau hanya berwisata religi di makam Soeharto dan keluarganya ini.
Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, misalnya, tercatat pernah berziarah ke makam Soeharto seusai menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Sebelas Maret, Solo.
Sejumlah tokoh politik juga kerap datang berziarah. Biasanya, makam ini ramai dikunjungi oleh tokoh politik menjelang pemilihan presiden atau legislatif.
Salah satunya mantan menantu Soeharto, Prabowo Subianto. Salah satu kunjungannya adalah ketika masih bertarung pada Pemilu Presiden 2014 sebagai calon presiden nomor urut 1.
Saat itu, Prabowo datang berziarah dengan didampingi tokoh partai pendukungnya, seperti Aburizal Bakrie dan Akbar Tandjung.
Sikap SBY Ketika Soeharto Meninggal
Minggu, 27 Januari 2008, pukul 13.10 WIB, presiden kedua RI, Soeharto (1967-1998), meninggal. Presiden keenam RI (2004-2014), Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, setelah menerima laporan tentang hal itu, membatalkan kepergiannya ke Bali untuk membuka Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang anti korupsi.
Di kantornya, SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengumumkan pengibaran bendera Merah Putih setengah tiang selama tujuh hari sebagai ungkapan belasungkawa.
Begitulah catatan Dino Patti Djalal yang dibukukan dalam bukunya, Harus Bisa!: Seni Memimpin ala SBY.
Dino, juru bicara SBY untuk bidang luar negeri saat itu, mencatat pula, SBY dan istrinya, Ny Ani Yudhoyono, pada hari Minggu itu juga melayat ke kediaman almarhum di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta. SBY dan Ny Ani berdoa di depan jenazah almarhum. Mbak Tutut, putri sulung Soeharto, menawari SBY untuk melihat wajah almarhum yang telah ditutup kain kafan. SBY mengangguk.
"SBY memandang wajah Pak Harto yang rautnya jauh lebih tua dibanding ketika beliau lengser tahun 1998, dengan ekspresi tenang, seakan-akan lega karena sudah lepas dari berbagai permasalahan," demikian catat Dino.
Dalam upacara pemakaman di Astana Giri Bangun, Karanganyar, Jawa Tengah, SBY bertindak sebagai inspektur upacara dan menyampaikan pidato yang ditulisnya sendiri.
Dalam pidatonya, demikian catatan Dino, SBY tidak menyatakan memaafkan Pak Harto karena memang memaafkan Pak Harto adalah urusan Allah SWT. Selain itu, kelak, sejarah yang akan memberikan penilaian terakhir terhadap Pak Harto.
Menurut Dino, setelah pemakaman itu ada beberapa pertanyaan kepada Ny Ani Yudhoyono. Bunyi pertanyaan itu antara lain, "Mengapa keluarga SBY memberikan perlakuan istimewa pada wafatnya Pak Harto, padahal dulu pernah ada episode yang tidak enak antara Presiden Soeharto dan Jenderal Sarwo Edhie, ayah Ny Ani dan mertua SBY".
Pertanyaan lainnya kepada Ny Ani, "Ketika Letjen TNI Sarwo Edhie Wibowo wafat tahun 1989, masyarakat melihat perhatian Presiden Soeharto biasa-biasa saja."
"Keluarga saya tidak boleh dan tidak pernah dendam pada siapa saja," kata Ny Ani Yudhoyono saat itu.
Sebagai catatan tambahan, hubungan pemerintahan Soeharto dan Sarwo Edhie, dalam buku SBY: Selalu Ada Pilihan, SBY mencatat, "Ayah mertua saya, Sarwo Edhie Wibowo, pernah difitnah akan melakukan kudeta kepada Pak Harto."
Dalam bukunya, SBY juga mengatakan pernah difitnah pihak tertentu akan mengudeta Soeharto pada Mei 1998. Tuduhan ini dibahas oleh SBY ketika bicara masalah dunia intelijen, dulu pada masa pemerintahan otoritarian.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2016, di halaman 2 dengan judul "Sikap SBY Ketika Soeharto Meninggal".
Sumber: Kompas.com
0 Comments
Berkomentarlah Sesuai dengan Topik - Terimakasih.